Saya kira perlu menulis hal ini sebagai respon
pernyataan pemerintah Kota Metro yang menyatakan Wisata Dam Raman belum aman.
Saya tentu tidak membantah ungkapan itu karena kami sebagai warga memang tidak
dapat menjamin bahwa 100% keamanan akan terus berlangsung. Publik juga tahu
bahwa gerakan #ayokedamraman baru berumur 63 hari, artinya baru 9 minggu
gerakan warga ini telah menunjukkan kemampuanya melakukan kampanye pariwisata
di media sosial baik dari instagram, facebook, youtube dan website www.ayokedamraman.com.
Sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada semua warga yang telah mengerahkan
semua tenaganya untuk membuat Dam Raman lebih baik.
Kita hidup di tengah demokrasi yang tidak menentu. Kita
hidup dengan birokrasi yang lambat dan penuh dengan hitung-hitungan
kepentingan. Kenapa kita sebagai warga juga selalu bergantung ke pemerintah itu
juga sebuah kesalahan yang akut. Sebelum negara ini berdiri, budaya bangsa kita
adalah gotong royong, bangsa yang membiayai perjuangannya dengan solidaritas
tanpa harus menunggu uang pemerintah yang sejatinya juga uang rakyat.
Orang-orang berseragam di gaji, dapat tunjangan kinerja, tapi selalu membodohi
warganya.
Hal ini sama dengan apa yang terjadi di kampus tempat
saya mengajar. Sebagai bagian dari aparatur sipil negara berbaju akademisi,
saya malu melihat tingkah laku birokrat yang hanya mencari ujung dari tiap
proyek yang diberi judul peningkatan, akselesari, program dan bahasa-bahasa
klise lain. Kita sebenarnya hanya melaksanakan ritualisme menghabiskan anggaran
negara. Dan yang terjadi adalah perampokan uang rakyat secara legalitas
berbasis program kegiatan yang tak pernah bermuara pada perubahan. Jikapun
terjadi perubahan, hal itu hanyalah perubahan fisik bukan perubahan mental
warga kita yang makin berdaya. Tambang kita hilang, hutan kita hilang,
pertanian kita hilang dan itu semua adalah dalih pembangunanisme.
Di tengah situasi pesimis itu, saya selalu optimis
bahwa gerakan sosial warga atau budaya gotong royong itu ada. Saat kecil
menjadi warga Lampung Tengah di kampung Srisawahan dan besar menjadi Warga
Metro. Kawasan Dam Raman adalah masa kecil saya, belajar berenang, mengintip
orang pacaran dan juga kenangan melintasi kawasan yang rawan dengan catatan
ratusan kali pembegalan. 20 tahun yang lalu sejak saya umur 9 tahun, saya sudah
mendengar bahwa Dam Raman akan dibangun ini itu. Sampai hari ini tidak ada yang
dibangun karena sejatinya pembangunan itu hanyalah mitos. Pun kesalahan warga
adalah terlalu banyak berharap pada pemerintah.
Hari ini saya membaca di media online bahwa pemerintah menyatakan
kawasan wisata Dam Raman tidak aman. Hal tersebut betul dan mestinya pemerintah
dengan mudah menyelesaikan persoalan itu. Segera mengerahkan dinas terkait
untuk mengamankan wisata warga. Seorang kepala dinas di Metro bercerita bahwa
Pemerintah tengah menghitung potensi parkir yang didapat. Saya hanya menjawab,”memang
apa Pak yang sudah dilakukan pemerintah?” Saya kira yang paling tepat dilakukan
pemerintah di 3 wilayah adalah membantu warga wilayahnya masing-masing dalam
kapasitas pemberdayaan bukan memperdayai. Alhamdulillah kemarin saya bertemu
dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Lampung Tengah yang akan memberi drum sampah
untuk semua titik di Dam Raman. Bukankah mengerahkan Satpol PP, BNPB, Dinas
Perhubungan, Dinas Pariwisata sekarang lebih mudah? Karena warga sudah
melakukan dengan kesadaran gotong rotong, maka pemerintah tinggal mendukung
tanpa perlu susah payah mengawali. Bukankah tugas pemerintah menyejahterakan
warganya sudah tuntas, saat warga sejahtera dengan usahanya sendiri? Kemudian
Pemerintah sekitar fokus melakukan pemberdayaan warga di wilayah lain.
Wilayah Dam Raman
Dam Raman adalah Bendungan air yang dikelola oleh UPTD
Balai PSDA Wilayah II (Seputih-Sekampung) dibawah Dinas Perumahan, Kawasan
Pemukiman dan PSDA Provinsi Lampung. Dam Raman dibangun sejak era 60-an
dimaksudkan untuk membendung air untuk dialirkan ke persawahan di Raman Utara.
Memang pemerintah dari 3 wilayah tidak memiliki hak atas bendungan Dam Raman
karena itu wewenang Provinsi. Lalu, setelah 20 tahun sejak saya umur 9 tahun,
saya ajak anak-anak muda sekitar kawasan Dam Raman. Kami taruh perahu karet,
kami buat tempat swafoto (baca: selfie),
kami kampanye di media sosial, bahkan minggu pertama dan kedua kami
ditertawakan para orang tua. Kami terus berpacu dengan waktu sampai pada hari
ini. Bertemu Pak Yono Purwoasri dan Mas Abas juga menambah semangat kami,
ratusan ban di turunkan untuk memperindah Dam Raman. Kami gotong royong
mengecat agar lebih indah. Kemudian kami membuat gerakan membangun Musala dan toilet,
sekali lagi Pak Yono banyak membantu gerakan kami ini terkait gotong royong
warga.
Kemudian muncul persoalan baru, banyaknya eksodus para
pedagang ingin berjualan di kawasan Dam Raman. Ada yang bisa kami tata dan
banyak juga yang semrawut. Tapi kami senang bahwa wisata ini berdampak pada
pendapatan warga. Lalu, ada seorang warga bernama Pak Probo yang membeli bebek
air. Banyak yang resisten dengan kejadian tersebut. Saya pribadi sebenarnya
senang karena wahana di Dam Raman bertambah, dari hanya sekadar fliying fox, perahu karet, panahan lalu
ada bebek air. Akhirnya terjadi perang wahana air yang katanya dimiliki oleh
kaum berseragam. Lalu saya mencari 6 bebek dari Tangerang, membeli dan
melelangnya untuk dimiliki warga banyak. Cukup 6 bebek saja dan pemuda-pemuda
komunitas #ayokedamraman saya ajak untuk membangun kreatifitas kawasan swafoto,
mengelola pedagang supaya rapi dan bersih, dan selanjutnya membuat permainan
anak tradisonal, wisata pertanian organik serta lainnya. Saya ingin memberikan
contoh bahwa wahana harus diurus oleh lembaga atau komunitas warga. Hari ini pemerintah
nihil anggaran, warga telah menuai hasil dari wisata warga tersebut. Disinilah
seharusnya Pemerintah Provinsi mengajak rembug 3 wilayah yaitu Purwoasri,
Wonosari dan Srisawahan agar konsep wahana diurus oleh komunitas bukan
individu. Sehingga warga menjadi tuan rumah di lingkungannya sendiri.
Menjaga Alam
Saya ingin mengatakan bahwa yang penting dari semua ini
adalah menjaga alam. Lima hari saya dan Dr. Yudiyanto roadshow bersama Dinas Lingkungan Hidup Kota Metro mengisi materi
di 5 kecamatan terkait kampung iklim. Saya mengatakan bahwa kota yang baik
adalah yang menjaga ekosistem. Menanam pohon, mengelola sampah, menjaga kawasan
air, menjaga pertanian dan hidup berdampingan dengan alam sekitar. Dari 5
kecamatan tersebut, hanya Metro Utara dan Metro Selatan yang masih terasa asri
dan memiliki potensi wisata alam. Maka yang harus dilakukan pemerintah Kota Metro,
(karena saya adalah bagian dari warga maka ini pendapat pribadi) yaitu
mengembalikan lagi suasana Metro yang ramah terhadap alam. Bukan malah sibuk
membangun proyek-proyek yang tidak memperhatian kindahan alam. Kota yang baik
adalah kota yang memperbanyak ruang terbuka hijau.
Dam Raman dengan keindahan alamnya kini mulai diincar
para pengembang. Ada yang akan membeli tanah dan sawah untuk dibangun
bermacam-macam wahana seperti kolam renang, waterboom,
penginapan dan lain-lain. Pertanyaanya, hal itu bisa dilakukan siapa? Dan siapa
yang akan mendapat keuntungan jika hal-hal diatas benar-benar terjadi. Apakah
warga diuntungkan dengan adanya hotel? Apakah alam itu akan lebih baik jika ada
kolam renang atau waterboom? Yang
jelas pembangunan itu akan menghasilkan limbah dan mengambil air tanah yang
begitu banyak untuk kepentingan komersial kelas menengah. Bukankah di kota ini
juga sudah ada wahana dan fasilitas di atas?
Maka yang saya lakukan adalah sebaliknya, yaitu
memprovokasi warga untuk tidak menjual tanah dan sawahnya kepada pemilik modal.
Jika itu dilakukan maka kelak potensi alam Dam Raman akan hancur dan warga juga
tidak akan mendapatkan apa-apa dari potensi alam yang ada. Sebaliknya, mereka
hanya akan jadi penonton dan terasing di kawasan Dam Raman. Kemungkinan mereka
hanya jadi satpam di kawasan yang saat ini masih mereka miliki. Lalu, apa yang
harus kita perbuat di kawasan Bendungan Raman. Saya kira ini sudah cukup. Kita
tidak butuh kolam renang, waterboom,
dan segala pembangunan yang berujung pada kerusakan ekosistem. Kita harus
menolak adanya pembangunan itu, karena limbah dari aktifitas kolam renang akan
merusak ikan-ikan. Apalagi air yang diambil dari kolam renang berasal dari air
tanah. Ada juga isu pulau bengkok akan ditebang pohonnya 30%. Kalau hal ini
terjadi berarti pemerintah Kota Metro telah sesat pikir, karena akan mengurangi
pohon yang telah lama menjaga keberlangsungan air Dam Raman.
Wisata Desa
Tawaran yang menarik dan tidak merusak alam adalah wisata
desa. Kawasan Dam Raman bukanlah kota, sehingga jika ingin dibangun hal-hal
aneh seperti kota-kota besar, hal tersebut jelas tidak mendidik budaya gotong
royong warga. Jika anda menonton film Belakang Hotel di Jogja, Kala Benoa di
Bali dan Onde Mande di Sumatra Barat karya Mas Dandhy Dwi Laksono. Film
tersebut adalah potret kegagalan pemerintah dan warganya menangkap potensi
lokal. Kawasan Dam Raman adalah tempat yang tepat untuk orang kota menikmati
alam dan wisata budaya desa. Kita bisa sediakan wisata pertanian organik, orang-orang
kota tentu senang diajak wisata membajak sawah menggunakan kerbau atau sapi,
anak-anak sekolah diajari menanam bermacam-macam sayuran di sawah wilayah
Srisawahan Lampung Tengah, memerah susu di 28 Purwoasri Metro Utara, menyadap
karet di 35 Wonosari Lampung Timur.
Wisata desa juga mencoba menghidupkan kembali
masyarakat budaya. Warga kembali menggenakan pakaian adat, udeng-udeng kepala, menghidupkan
tradisi budaya yang dulu pernah ada dan sekarang telah hilang. Kita hidupkan
lagi permainan tradisional anak untuk orang-orang kota yang datang. Kita
sediakan permainan anak dari mulai egrang dari bambu, lomba jalan menggunakan
bakiya, permainan lompat tali, dakon, gobak sodor, betengan, dan segala
permainan anak yang membuat mereka lupa dengan teknologi gajet yang merenggut
masa muda mereka. Poin pentingnya mereka dapat belajar solidaritas dan kembali
mencintai alam yang indah.
Sepanjang pinggir jalan 28 Purwoasri, 35 Wonosari dan
Srisawahan kita tanam pohon nangka sayur yang berdampak pada penghijaun dan
buahnya memilki nilai ekonomi. Hasilnya kita akan melihat kawasan hijau yang
jelas tak ternilai harganya. Warga dididik menyediakan penginapan murah berbasis
warga. Jika masih bujang-gadis maka mereka harus di pisah kawasan menginapnya.
Jika sudah berkeluarga maka wajib menunjukkan buku nikah. Saya kira banyak ide
jika memang kita memiliki niat baik. Kapan ini akan terjadi? Saya kira pilihan
optimis itu bisa didaratkan jika pemerintah fokus terhadap perubahan dan
pemberdayaan warga. Terakhir, sejatinya pariwisata adalah bonus, hal yang utama
adalah menjaga kelestarian alam.
Dharma Setyawan
Warga Biasa Kota Metro
Komentar